Bagi banyak trader, indikator volume sering dianggap sebagai alat konfirmasi utama dalam analisis teknikal. Volume membantu membaca seberapa besar partisipasi pasar di balik pergerakan harga, apakah sebuah tren benar-benar didukung oleh kekuatan beli atau hanya gerakan sesaat.
Namun, banyak trader terjebak oleh lonjakan volume palsu atau tidak memahami konteks di balik angka-angka tersebut. Akibatnya, keputusan entry dan exit menjadi tidak akurat dan potensi profit pun berkurang.
Kali ini, Gotrade akan menjelaskan sembilan kesalahan paling umum saat membaca indikator volume, lengkap dengan cara menghindarinya agar analisis kamu lebih tajam dan disiplin.
Kesalahan Umum Trader Saat Menggunakan Indikator Volume
1. Salah baca volume spike
Banyak trader pemula langsung menganggap lonjakan volume (volume spike) sebagai tanda akumulasi besar. Padahal, melansir Investopedia, volume tinggi juga bisa berarti aksi distribusi, terutama ketika harga sudah mencapai area jenuh beli.
Contohnya, pada saham teknologi besar seperti Tesla, volume sempat melonjak tajam di area puncak harga pada 2021, namun justru diikuti koreksi besar setelahnya.
Artinya, spike volume bukan selalu sinyal beli, tapi bisa juga tanda "smart money" sedang keluar.
2. Tidak membedakan antara akumulasi dan distribusi
Trader sering salah mengartikan volume meningkat di tren naik sebagai akumulasi.
Padahal, bisa saja volume tersebut muncul karena investor besar sedang melepas posisi.
Perhatikan pola candlestick di area resistance; jika muncul upper shadow panjang disertai volume tinggi, itu sinyal distribusi, bukan akumulasi.
3. Mengabaikan konfirmasi harga
Volume tanpa konfirmasi harga adalah sinyal lemah. Misalnya, volume meningkat tapi harga bergerak datar; bisa jadi pasar hanya "berisik" tanpa arah jelas.
Idealnya, kenaikan harga disertai peningkatan volume agar tren terlihat sehat. Menurut Investopedia, volume sebaiknya digunakan bersama price action untuk membedakan antara tren nyata dan manipulasi jangka pendek.
4. Terlalu fokus pada volume harian
Melihat volume hanya di timeframe harian membuat trader kehilangan konteks pergerakan yang lebih halus.
Misalnya, pada timeframe 15 menit bisa muncul volume divergence; volume menurun meski harga naik, yang menandakan momentum mulai melemah.
Analisis multi-timeframe memberi gambaran lebih lengkap tentang kekuatan tren.
5. Mengabaikan volume relatif
Volume absolut tidak memberi konteks apakah aktivitas hari itu tergolong tinggi atau rendah. Itulah mengapa Relative Volume (RVOL) penting.
RVOL membandingkan volume hari ini dengan rata-rata beberapa hari terakhir.
Sebagai contoh, jika RVOL di atas 2, berarti aktivitas perdagangan dua kali lebih ramai dari biasanya, indikasi minat baru dari pelaku pasar.
6. Salah menafsirkan volume rendah
Volume rendah tidak selalu buruk. Dalam fase konsolidasi, volume biasanya menurun karena pasar sedang mencari keseimbangan.
Justru jika harga turun tapi volume rendah, itu bisa berarti tekanan jual mulai mereda.
Sebaliknya, jika harga turun disertai lonjakan volume, itu sinyal distribusi yang perlu diwaspadai.
7. Tidak menggabungkan volume dengan indikator lain
Volume analysis akan jauh lebih kuat bila dikombinasikan dengan indikator seperti RSI, MACD, atau OBV (On-Balance Volume). Kombinasi indikator membantu memvalidasi sinyal.
Misalnya, kenaikan harga dan kenaikan OBV menunjukkan tren naik valid. Namun, jika harga naik sementara OBV datar, tren tersebut rentan koreksi.
8. Overtrading karena euforia volume tinggi
Lonjakan volume sering menimbulkan efek psikologis, seperti rasa takut tertinggal (FOMO).
Trader yang tidak disiplin bisa masuk posisi hanya karena melihat aktivitas tinggi, tanpa analisis mendalam.
Padahal, volume besar sering muncul menjelang berita besar atau setelah rilis laporan keuangan, di mana volatilitas ekstrem bisa menjebak trader ritel.
9. Mengabaikan perbedaan antara data broker dan bursa
Volume dari satu broker belum tentu mencerminkan total aktivitas pasar.
Misalnya, volume di broker A bisa melonjak karena aktivitas spekulatif, sementara volume total di bursa tidak berubah signifikan.
Gunakan data exchange volume atau sumber seperti Nasdaq, NYSE, atau IDX untuk mendapatkan gambaran pasar yang sebenarnya.
Cara Menghindari Kesalahan Volume Analysis
Untuk menghindari kesalahan dalam analisis volume, berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
- Selalu konfirmasi dengan harga: Volume naik tanpa pergerakan harga tajam berarti sinyal belum valid.
 - Gunakan beberapa timeframe: Gabungkan volume harian dan mingguan untuk memastikan tren berkelanjutan.
 - Catat pola volume di trading journal: Dokumentasikan kapan volume berhasil memvalidasi tren dan kapan gagal.
 - Gabungkan dengan indikator momentum: RSI atau MACD bisa membantu mendeteksi apakah volume mendukung arah tren.
 - Jangan reaktif terhadap satu bar volume: Fokus pada konsistensi beberapa hari untuk membaca akumulasi yang nyata.
 
Kesimpulan
Volume adalah "denyut nadi" pasar, indikator penting untuk membaca kekuatan tren. Namun, volume tidak bisa berdiri sendiri. Trader yang memahami konteks, menggabungkan dengan indikator lain, dan disiplin mencatat hasil analisis akan memiliki keunggulan kompetitif dibanding sekadar mengikuti lonjakan volume.
Gunakan volume sebagai alat konfirmasi, bukan penentu tunggal keputusan. Bangun strategi trading yang konsisten, objektif, dan berbasis data.
Mulai investasi saham global dengan aplikasi Gotrade dan rasakan pengalaman trading yang lebih profesional.
FAQ
Apa itu indikator volume?
Indikator volume adalah alat yang digunakan untuk mengukur jumlah saham atau kontrak yang diperdagangkan dalam periode waktu tertentu, membantu trader memahami kekuatan pergerakan harga.
Bagaimana cara menggunakan indikator volume dengan efektif?
Untuk menggunakan indikator volume dengan efektif, kombinasikan dengan analisis harga, gunakan beberapa timeframe, dan perhatikan pola volume untuk mendapatkan sinyal yang lebih akurat.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.











